Maret 05, 2019

UU Desa Menjadikan Desa Mandiri

UU Desa Menjadikan Desa Mandiri
UU Desa selalu disosialisasikan  

Perspektif UU Desa

Sejak kemerdekaan 1945, Republik Indonesia tidak pernah memiliki kebijakan dan regulasi tentang desa yang kokoh, legitimate dan berkelanjutan. Perdebatan akademik yang tidak selesai, tarik menarik politik yang keras, kepentingan ekonomi politik yang menghambat, dan hasrat proyek merupakan rangkaian penyebabnya. Prof. Selo Soemardjan, Bapak Sosiologi Indonesia dan sekaligus promotor otonomi desa, berulangkali sejak 1956 menegaskan bahwa sikap politik pemerintah terhadap Desa tidak pernah jelas.

Perdebatan yang berlangsung di sepanjang hayat selalu berkutat pada dua hal : 

  • Pertama, debat tentang hakekat, makna dan visi negara atas Desa. Sederet masalah konkret (kemiskinan, ketertinggalan, keterbelakangan, ketergantungan) yang melekat pada Desa, senantiasa menghadirkan pertanyaan: Desa mau dibawa kemana? Apa hakekat Desa? Apa makna dan manfaat Desa bagi negara dan masyarakat? Apa manfaat Desa yang hakiki jika Desa hanya menjadi tempat bermukim dan hanya unit administratif yang disuruh mengeluarkan berbagai surat keterangan?
  • Kedua, debat politik-hukum tentang frasa kesatuan masyarakat hukum adat dalam UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) serta kedudukan Desa dalam tata negara Republik Indonesia. Satu pihak mengatakan bahwa Desa bukanlah kesatuan masyarakat hukum adat, melainkan sebagai struktur pemerintahan yang paling bawah. Pihak lain mengatakan berbeda, bahwa yang disebut kesatuan masyarakat hukum adat adalah Desa atau sebutan lain seperti nagari, gampong, marga, kampung, negeri dan lain-lain yang telah ada jauh sebelum NKRI lahir.
Debat yang lain mempertanyakan status dan bentuk Desa. Apakah Desa merupakan pemerintahan atau organisasi masyarakat? Apakah Desa merupakan local self government atau self governing community? Apakah Desa merupakan sebuah organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota?

Dua Undang-undang yang lahir di era reformasi, yakni UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004, ternyata tidak mampu menjawab pertanyaan tentang hakekat, makna, visi,dan kedudukan Desa. Meskipun frasa “kesatuan masyarakat hukum” dan adat melekat pada definisi Desa, serta mengedepankan asas keragaman, tetapi cita rasa “Pemerintahan Desa” yang diwariskan oleh UU No. 5/1979 masih sangat dominan. Karena itu para pemikir dan pegiat Desa di berbagai tempat terus-menerus melakukan kajian, diskusi, publikasi, dan advokasi terhadap otonomi Desa serta mendorong kelahiran UU Desa yang jauh lebih baik, kokoh dan berkelanjutan.


Pada tahun 2005, pemerintah dan DPR mengambil kesepakatan memecah UU No. 32/2004 menjadi tiga UU: 

  1. UU Pemerintahan Daerah, 
  2. UU Pilkada Langsung, dan 
  3. UU Desa
Keputusan ini semakin menggiatkan gerakan pada pejuang Desa. Pada tahun 2007, pemerintah menyiapkan Naskah Akademik dan RUU Desa. Baru pada bulan Januari 2012 Presiden mengeluarkan Ampres dan menyerahkan RUU Desa kepada DPR, dan kemudian DPR RI membentuk Pansus RUU Desa.  


Baik pemerintah maupun DPD dan DPR membangun kesepahaman untuk meninggalkan Desa lama menuju Desa baru. Mereka berkomitmen untuk mengakhiri perdebatan panjang dan sikap politik yang tidak jelas kepada Desa selama ini, sekaligus membangun UU Desa yang lebih baik, kokoh dan berkelanjutan. Setelah menempuh perjalanan panjang selama tujuh tahun (2007-2013), dan pembahasan intensif  2012-2013.


RUU Desa akhirnya disahkan menjadi Undang-undang Desa pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 18 Desember 2013. Mulai dari Presiden, Menteri Dalam Negeri beserta jajarannya, DPR, DPD, para Kepala Desa dan perangkat Desa, hingga para aktivis pejuang Desa menyambut kemenangan besar  atas kelahiran UU Desa

Berbeda dengan kebijakan sebelumnya, UU Desa yang diundangkan menjadi UU No. 6/2014, menegaskan komitmen politik dan konstitusional bahwa negara melindungi dan memberdayakan Desa agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kokoh dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.  


Visi dan komitmen tentang perubahan Desa juga muncul dari pemerintah, setelah melewati deliberasi yang panjang dan membangun kompromi agung dengan DPR. 

Pidato Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, dalam Sidang Paripurna berikut ini mencerminkan visi dan komitmen baru pemerintah tentang perubahan Desa :   
Rancangan Undang-Undang Desa akan semakin komprehensif dalam mengatur Desa serta diharapkan akan mampu memberikan harapan yang besar bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat dan pemerintahan Desa. Rancangan Undang-Undang tentang Desa yang disahkan, diharapkan dapat menjawab berbagai permasalahan di Desa yang meliputi aspek sosial, budaya, ekonomi, serta memulihkan basis penghidupan masyarakat Desa dan memperkuat Desa sebagai entitas masyarakat yang kuat dan mandiri.
Desa juga diharapkan dapat menjalankan mandat dan penugasan beberapa urusan yang diberikan oleh pemerintah provinsi, dan terutama pemerintah kabupaten/kota yang berada diatasnya, serta menjadi ujung tombak dalam setiap pelaksanan pembangunan dan kemasyarakatan. Sehingga, pengaturan Desa juga dimaksudkan untuk mempersiapkan Desa dalam merespon proses modernisasi, globalisasi dan demoktratisasi yang terus berkembang tanpa kehilangan jati dirinya.
Dengan pengaturan seperti ini, diharapkan Desa akan layak sebagai tempat kehidupan dan penghidupan. Bahkan lebih dari itu, Desa diharapkan akan menjadi fondasi penting bagi kemajuan bangsa dan negara dimasa yang akan datang. Disamping itu, Undang-Undang tentang Desa ini diharapkan mengangkat Desa pada posisi subyek yang terhormat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena akan menentukan format Desa yang tepat sesuai dengan konteks keragaman lokal, serta merupakan instrumen untuk membangun visi menuju kehidupan baru Desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. 
Paradigama Desa Lama dan Desa Baru
Secara garis besar perubahan ditunjukkan dengan pembalikan paradigma dalam memandang Desa, pemerintahan dan pembangunan yang selama ini telah mengakar di Indonesia. Pembalikan itu membuahkan perspektif “Desa Lama” yang berubah menjadi “Desa Baru” sebagaimana tersaji dalam tabel berikut: 

Tabel Desa Lama Vs Desa Baru
Unsur-Unsur                          Desa Lama                                             Desa Baru
Dasar konstitusi
UUD 1945 Pasal 18 ayat 7
UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2 
dan Pasa18 ayat 7
Payung hukum
UU No. 32/2004 dan PP No.72/2005
UU No. 6/2014
Visi-misi
Tidak ada
Negara melindungi dan
memberdayakan Desa agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat   dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil,
makmur, dan sejahtera
Asas utama
Desentralisasi-residualitas
Rekognisi-subsidiaritas
Kedudukan
Organisaspemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota 
Sebagai pemerintahan masyarakat,
hybrid antara self governing community dan local self government.
Delivery
kewenangan dan program
Target: pemerintah menentukan
target-target kuantitatif dalam membangun Desa
Mandat: negara memberi mandat
kewenangan, prakarsa dan pembangunan
Kewenangan
Selain kewenangan asal usul,
menegaskan tentang sebagian urusan kabupaten/kota yang diserahkan kepada Desa
Kewenangan asal-usul (rekognisi) dan
kewenangan lokal berskala Desa
(subsidiaritas).
Politik tempat
Lokasi: Desa sebagai lokasi proyek
dari atas
Arena: Desa sebagai arena bagi orang
Desa untuk menyelenggarakan


pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan dan kemasyarakatan
Posisi dalam
pembangunan
Obyek
Subyek
Model
pembangunan
Government driven development
atau community driven development
Village driven development Village
driven development, dengan penekanan pada peningkatan kapasitas, kepemilikan aset ekonomi dan revitalisasi budaya Desa.
Karakter politik
Desa parokhial, dan Desa
korporatis
Desa Inklusif
Demokrasi
Demokrasi tidak menjadi asas dan
nilai, melainkan menjadi
instrumen. Membentuk demokrasi elitis dan mobilisasi partisipasi
Demokrasi menjadi asas, nilai, sistem
dan tatakelola. Membentuk demokrasi inklusif, deliberatif dan partisipatif

Penguatan Desa

1. Desa Maju, Kuat, Mandiri dan Demokratis



Desa harus semakin maju tetapi tidak meninggalkan tradisi, dan tetap merawat tradisi tetapi tidak ketinggalan jaman. 

Didalam desa kuat dan desa mandiri terkandung prakarsa lokal, kapasitas, bahkan pada titik tertinggi adalah desa yang berdaulat secara politik. 

Konsep desa kuat senantiasa diletakkan dalam satu tarikan nafas dengan daerah kuat dan negara kuat. Negara kuat bukan berarti mempunyai struktur yang besar dan berkuasa secara dominan terhadap semua aspek kehidupan. Otonomi dan kapasitas merupakan tolok ukur negara kuat.

Negara otonom adalah negara yang sanggup mengambil keputusan secara mandiri, sekaligus kebal dari pengaruh berbagai kelompok ekonomi politik maupun kekuatan global. Kapasitas negara terkait dengan kemampuan negara menggunakan alat-alat kekerasan dan sistem pemaksa untuk menciptakan law and order (keamanan, keteraturan, ketertiban, ketentraman, dan sebagainya), mengelola pelayanan publik dan pembangunan untuk fungsi welfare (kesejahteraan), serta melakukan proteksi terhadap wilayah, tanah air, manusia, masyarakat maupun sumberdaya alam.

Secara khusus dalam Desa kuat  terdapat  dua  makna  penting  :
PertamaDesa  memiliki  legitimasi  di  mata masyarakat  Desa.  Tentu  legitimasi bisa  terjadi kalau  Desa mempunyai  kinerja  dan  bermanfaat  secara  nyata  bagi  masyarakat, bukan  hanya manfaat secara administratif, tetapi juga manfaat sosial dan ekonomi.   


Kedua, Desa memperoleh pengakuan dan penghormatan (rekognisi) dan kepercayaan dari pihanegara (institusi negara apapun), pemerintah daerah, perusahaan, dan lembaga- lembaga  lain.    Jika  mereka  meremehkan  Desa,  misalnya  menganggap  Desa  tidak mampu atau Desa tidak siap, maka Desa itu masih lemah. Rekognisi itu tidak hanya di atas kertas sebagaimana pesan UU Desa, tetapi juga diikuti dengan sikap dan tindakan konkret yang tidak meremehkan tetapi memercayai.


Rekognisi dan subsidiaritas merupakan solusi terbaik untuk menata ulang hubungan  Desa dengan  negara,  maka  demokrasi  merupakan  solusi  terbaik  untuk menata  ulang hubungan  antara  Desa  dengan  warga  atau  antara  pemimpin  Desa dengan  warga masyarakat. Rekognisi dan subsidiaritas, seperti halnya desentralisasi, hendak membawa negara, arena dan sumberdaya lebih dekat kepada Desa; sementara demokrasi hendak  mendekatkan akses rakyat Desa pada negara, arena dan sumberdaya. 


Tanpa demokrasi, rekognisi-subsidiaritas dan kemandiriaDeshanya akan memindahkan korupsi, sentralisme dan elitisme ke Desa. Sebaliknya, demokrasi tanpa rekognisi-subsidiritas hanya akan membuat jarak yang jauh antara rakyat dengan arena, sumberdaya dan negara.


    2. Desa sebagai suatu Kesatuan Pemerintahan dan Masyarakat

Desa sebagai sebuah kesatuan organik, Desa memiliki masyarakat, masyarakat memiliki Desa. Desa memiliki masyarakat berarti Desa ditopang oleh institusi lokal atau modal sosial. Dalam UU Desa hal ini tercermin pada asas kekeluargaan, kebersamaan dan kegotongroyongan. Sementara masyarakat memiliki Desa bisa disebut juga sebagai tradisi berdesa, atau masyarakat menggunakan Desa sebagai basis dan arena bermasyarakat, bernegara, berpolitik atau berpemerintahan oleh masyarakat.


Desa  sebagai  basis  sosial  merupakan  tempat menyemai  dan  merawat  modal sosial (kohesi sosial, jembatan sosial, solidaritas sosial dan jaringan sosial) sehingga Desa mampu bertenaga secara sosial. 


Sebagai basis politik, Desa menyediakan arena kontestasi politik bagi kepemimpinan lokal, sekaligus arena representasi dan partisipasi warga  dalam  pemerintahan  dan pembangunan  Desa.  Dengan  kalimat  lain,  Desa menjadi arena bagi demokratisasi lokal yang paling kecil dan paling dekat dengan warga. 


Sebagai basis pemerintahan, Desa memiliki organisasi dan tatapemerintahan yang mengelola kebijakan, perencanaan, keuangan dan layanan dasar yang bermanfaat untuk warga. 


Sebagai basis ekonomi, Desa sebenarnya mempunyai aset-aset ekonomi (hutan, kebun, sawah, tambang, sungai, pasar, lumbung, perikanan darat, kerajinan, wisata, dan sebagainya), yang bermanfaat untuk sumber-sumber penghidupan bagi warga. Sudah banyak contoh yang memberi bukti-bukti tentang identitas ekonomi yang memberikan penghidupan bagi warga: Desa cengkeh, Desa kopi, Desa vanili, Desa keramik, Desa genting, Desa wisata, Desa ikan, Desa kakao, Desa madu, Desa garam, dan lain-lain.


Hakekat Desa sebagai basis kehidupan dan penghidupan itu ditemukan dalam lintasan sejarah. Banyak cerita yang memberikan bukti bahwa Desa bermakna dan bermanfaat bagi warga. Banyak peran dan manfaat Desa bagi masyarakat di masa lalu, seperti menjaga keamanan Desa, mengelola persawahan dan irigasi, penyelesaian sengketa, pendirian sekolah-sekolah rakyat dan sekolah dasar, dan masih banyak lagi. Dalam hal hukum dan keadilan, studi Bank Dunia menunjukkan bahwa masyarakat lebih banyak memilih kepala Desa (42 persen) dan tokoh masyarakat (35 persen) ketimbang pengadilan (4 persen) dalam menyelesaikan masalahnya (Bank Dunia, Justice for Poor, 2007).  


Pengalaman ini yang menjadi salah satu ilham bagi Suhardi Suryadi dan Widodo Dwi Saputro (2007) menggagas dan mempromosikan balai mediasi Desa, sebagai salah satu alternatif yang paling layak untuk melibatkan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Gagasan tentang community justice sytem berbasis Desa ini memang berasalan karena sejarah telah membuktikan bahwa Desa/masyarakat adat memiliki akar sosial-budaya yang secara adil menyelesaikan sengketa secara lokal.

    3. Desa Sebagai Masyarakat Berpemerintahan
Kedudukan (posisi) Desa dalam bangunan besar tatanegara Indonesia, sekaligus relasi antara negara, Desa dan warga merupakan jantung persoalan UU Desa. 

Rekognisi bukan saja mengakui dan menghormati terhadap keragaman Desa, kedudukan, kewenangan dan hak asal-usul maupun susunan pemerintahan, namun UU Desa juga melakukan redistribusi ekonomi dalam bentuk alokasi dana dari APBN maupun APBD. Di satu sisi rekognisi dimaksudkan untuk mengakui dan menghormati identitas, adat-istiadat, serta pranata dan kearifan lokal  sebagai bentuk tindakan untuk keadilan kultural. Di sisi lain redistribusi uang negara kepada Desa merupakan resolusi untuk menjawab ketidakailan sosial-ekonomi karena intervensi, eksploitasi dan marginalisasi yang dilakukan oleh negara. Bahkan UU Desa juga melakukan proteksi terhadap Desa, bukan hanya proteksi kultural, tetapi juga proteksi Desa dari imposisi dan mutilasi yang dilakukan oleh supradesa, politisi dan investor.


Asas residualitas yang mengikuti asas desentralisasi menegaskan bahwa seluruh kewenangan dibagi habis antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan terakhir di tangan pemerintah kabupaten/kota. Dengan asas desentralisasi dan residualitas itu, Desa ditempatkan dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota, yang menerima pelimpahan sebagian (sisa-sisa) kewenangan dari bupati/walikota.


Prinsip subsidiaritas menegaskan bahwa dalam semua bentuk koeksistensi manusia, tidak ada organisasi yang harus melakukan dominasi dan menggantikan organisasi yang kecil dan lemah dalam menjalankan fungsinya. Sebaliknya, tanggungjawab moral lembaga sosial yang lebih kuat dan lebih besar adalah memberikan bantuan kepada organisasi yang lebih kecil dalam pemenuhan aspirasi secara mandiri yang ditentukan pada level yang lebih kecil-bawah, ketimbang dipaksdari atas (Alessandro Colombo,2012; Soetoro Eko ). 


Dengan kalimat lain, subsidiarity secara prinsipil menegaskan tentang alokasi atau penggunaan kewenangan dalam tatanan   politik,   yang   notaben tidak   mengenal  kedaulatan   tungga di   tangan pemerintah sentral. Subsidiaritas terjadi dalam konteks transformasi institusi, sering sebagai bagian dari tawar-menawar (bargaining) antara komunitas/otoritas yang berdaulat (mandiri) dengan otoritas lebih tinggi pusat. 

Sotoro Eko (2015) memberikan tiga makna subsidiaritas : 
Pertama, urusan lokal atau kepentingan masyarakat setempat yang berskala lokal lebih baik ditangani oleh organisasi lokal, dalam hal ini Desa, yang paling dekat dengan masyarakat. Dengan kalimat lain, subsidiaritas adalah lokalisasi penggunaan kewenangan dan pengambilan keputusan tentang kepentingan masyarakat setempat kepada Desa.

Kedua, negara bukan menyerahkan kewenangan seperti asas desentralisasi, melainkan menetapkan kewenangan lokal berskala Desa menjadi kewenangan Desa melalui undang-undang. Dalam penjelasan UU No. 6/2014 subsidiaritas mengandung makna penetapan kewenangan lokal berskala Desa menjadi kewenangan Desa. Penetapan itu berbeda dengan penyerahan, pelimpahan atau pembagian yang lazim dikenal  dalam asas  desentralisasi  maupun  dekonsentrasi.  Sepadan  dengan  asas rekognisi   yang menghormati dan mengakui kewenangan asal-usul Desa, penetapan ala subsidiaritas berarti UU secara langsung menetapkan sekaligus memberi batas- batas yang jelas tentang kewenangan Desa tanpa melalui mekanisme penyerahan dari kabupaten/kota.

Ketiga,  pemerintah melakukan dukungan dan fasilitasi terhadap Desa. Pemerintah mendorong, memberikan kepercayaan dan mendukung prakarsa dan tindakan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Tindakan ini sejalan dengan salah satu tujuan penting UU No. 6/2014, yakni memperkuat Desa sebagai subyek pembangunan, yang mampu dan mandiri mengembangkan prakarsa dan aset Desa untuk kesejahteraan bersama.
      
      4. Kedaulatan, Kewenangan dan Prakarsa Lokal
Desa, sebagai kesatuan masyarakat hukum atau badan hukum publik juga memiliki kewenangan meskipun tidak seluas kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Kewenangan  Desa  adalah  hak  Desa  untuk  mengatur,  mengurus  dan  bertanggung jawab   atas urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Mengatur dan mengurus mempunyai beberapa makna:

(1)    Mengeluarkan dan menjalankan aturan main (peraturan), tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sehingga mengikat kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Misalnya Desa menetapkan besaran jasa pelayanan air minum yang dikelola BUM Desa Air Bersih; atau Desa menetapkan larangan truck besar masuk ke jalan kampung.

(2)    Bertanggungjawab merencanakan, menganggarkan dan menjalankan kegiatan pembangunan  atau  pelayanan,  serta  menyelesaikan  masalah  yang  muncul

(3)    Memutuskan dan menjalankan alokasi sumberdaya (baik dana, peralatan maupun personil) dalam kegiatan pembangunan atau pelayanan, termasuk membagi sumberdaya  kepada  penerima  manfaat.  Sebagai  contoh,  Desa  memutuskan alokasi dana sekian rupiah dan menetapkan personil pengelola Posyandu. Contoh lain: Desa memberikan beasiswa sekolah bagi anak-anak Desa yang pintar (berprestasi) tetapi tidak mampu (miskin).

(4)    Mengurus berarti menjalankan, melaksanakan, maupun merawat public goods yang  telah  diatur  tersebut.  Implementasi  pembangunan  maupun  pelayanan publik merupakan bentuk konkret mengurus.

Urusan pemerintahan pada dasarnya mencakup tiga fungsi yang dijalankan oleh pemerintah, yaitu: pengaturan (public regulation), pelayanan publik (public goods) dan pemberdayaan masyarakat (empowerment). Pengaturan merupakan kegiatan mengatur (membuat peraturan tentang perintah yang harus dijalankan dan larangan yang harus dihindari) tentang pemanfaatan barang-barang publik seperti pendidikan, kesehatan, jalan, laut, sungai, hutan, kebun, air, udara, uang dan lain-lain. Sedangkan pemberdayaan adalah fungsi pemerintah memperkuat kemampuan masyarakat dalam mengakses atau memanfaat- kan  barang-barang  publik  tersebut  serta  mengembangkan  potensi  dan  aset  yang dimiliki masyarakat.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, apa yang disebut urusan pemerintahan tersebut sudah diatur dan diurus oleh pemerintah, bahkan sudah dibagi habis kepada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan UU No. 22/2014 dan undang-undang sektoral lainnya. Apa yang disebut kepentingan masyarakat setempat sebenarnya juga tercakup sebagai urusan pemerintahan.

Urusan pemerintahan berkaitan dengan pelayanan publik kepada warga yang sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Sementara kepentingan masyarakat setempat adalah kebutuhan bersama masyarakat yang terkait dengan penghidupan dan kehidupan sehari-hari masyarakat, muncul dari prakarsa masyarakat,  berskala  dan bersifat  lokal  (setempat),  dan  terkadang  belum tercakup dalam peraturan dan kebijakan pemerintah.

Karena kedudukan, bentuk dan sifat Desa berbeda dengan pemerintah daerah, maka  kewenangan  ”mengatur  dan  mengurus yang  dimiliki  Desa  sangat  berbeda dengan kewenangan pemerintah daerah. UU No. 6/2014 memang tidak memuat norma yang tersurat tentang prinsip dan ketentuan tentang kewenangan Desa. Namun di balik jenis-jenis  kewenangan  yang  tersurat,  ada  makna  dan  nalar yang dapat  dipahami. Berbeda dengan kewenangan pemerintah, ada beberapa prinsip penting yang terkandung dalam kewenangan Desa:

(1)   Baik kewenangan asal usul maupun kewenangan lokal bukanlah kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah, bukan juga merupakan sisa (residu) yang dilimpahkan oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana pernah diatur dalam UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005. Sesuai dengan asas rekognisi dan subsidiaritas, kedua jenis kewenangan itu diakui dan ditetapkan langsung oleh undang-undang dan  dijabarkan  oleh  peraturan  pemerintah.  

(2)   Sebagai  konsekuensi  Desa  sebagai  masyarakat  yang  berpemerintahan  (self governing community), kewenangan Desa yang berbentuk mengatur hanya terbatas pada pengaturan kepentingan lokal dan masyarakat setempat dalam batas-batas wilayah administrasi Desa. Mengatur dalam hal ini bukan dalam bentuk mengeluarkan izin  baik kepada warga maupun kepada pihak luar seperti investor, melainkan dalam bentuk keputusan alokatif kepada masyarakat, seperti alokasi anggaran dalam APB Desa, alokasi air kepada warga, dan lain-lain.  Desa tidak bisa memberikan izin mendirikan bangunan, izin pertambangan, izin eksploitasi air untuk kepentingan bisnis dan sebagainya.

(3Kewenangan Desa lebih banyak mengurus, terutama yang berorientasi kepada pelayanan warga dan pemberdayaan masyarakat. Sebagai contoh Desa melayani dan juga membiayai kegiatan kelompok tani, melatih kader perempuan, membiayai Posyandu, mengembangkan hutan rakyat bersama masyarakat, membikin bagan ikan untuk kepentingan nelayan, dan sebagainya.

(4)   Selain mengatur dan mengurus, Desa dapat mengakses urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota untuk dimanfaatkan memenuhi kepentingan   masyarakat Selai contoh   di   atas   tentang   beberap Desa menangkap air sungai Desa dapat mengakses dan memanfaatkan lahan negara berskala kecil (yang tidak termanfaatkan atau tidak bertuan) untuk memenuhi kepentingan masyarakat setempat. Lahan sisa proyek pembangunan, tanggul dan bantaran  sungai,  maupun  tepian  jalan  kabupaten/kota  merupakan  contoh konkret.  Desa  dapat  memanfaatkan  dan  menanam  pohon  di  atas  lahan  itu dengan cara mengusulkan dan memperoleh izin dari bupati/walikota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar