Sejak kemerdekaan 1945, Republik Indonesia tidak pernah memiliki kebijakan dan regulasi tentang desa yang kokoh, legitimate dan berkelanjutan. Perdebatan akademik yang tidak selesai, tarik menarik politik yang keras, kepentingan ekonomi politik yang menghambat, dan hasrat proyek merupakan rangkaian penyebabnya. Prof. Selo Soemardjan, Bapak Sosiologi Indonesia dan sekaligus promotor otonomi desa, berulangkali sejak 1956 menegaskan bahwa sikap politik pemerintah terhadap Desa tidak pernah jelas.
Perdebatan yang berlangsung di sepanjang hayat selalu berkutat pada dua hal :
- Pertama, debat tentang hakekat, makna dan visi negara atas Desa. Sederet masalah konkret (kemiskinan, ketertinggalan, keterbelakangan, ketergantungan) yang melekat pada Desa, senantiasa menghadirkan pertanyaan: Desa mau dibawa kemana? Apa hakekat Desa? Apa makna dan manfaat Desa bagi negara dan masyarakat? Apa manfaat Desa yang hakiki jika Desa hanya menjadi tempat bermukim dan hanya unit administratif yang disuruh mengeluarkan berbagai surat keterangan?
- Kedua, debat politik-hukum tentang frasa kesatuan masyarakat hukum adat dalam UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) serta kedudukan Desa dalam tata negara Republik Indonesia. Satu pihak mengatakan bahwa Desa bukanlah kesatuan masyarakat hukum adat, melainkan sebagai struktur pemerintahan yang paling bawah. Pihak lain mengatakan berbeda, bahwa yang disebut kesatuan masyarakat hukum adat adalah Desa atau sebutan lain seperti nagari, gampong, marga, kampung, negeri dan lain-lain yang telah ada jauh sebelum NKRI lahir.
Debat yang lain mempertanyakan status dan bentuk Desa. Apakah Desa merupakan pemerintahan atau organisasi masyarakat? Apakah Desa merupakan local self government atau self governing community? Apakah Desa merupakan sebuah organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota?
Dua Undang-undang yang lahir di era reformasi, yakni UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004, ternyata tidak mampu menjawab pertanyaan tentang hakekat, makna, visi,dan kedudukan Desa. Meskipun frasa “kesatuan masyarakat hukum” dan adat melekat pada definisi Desa, serta mengedepankan asas keragaman, tetapi cita rasa “Pemerintahan Desa” yang diwariskan oleh UU No. 5/1979 masih sangat dominan. Karena itu para pemikir dan pegiat Desa di berbagai tempat terus-menerus melakukan kajian, diskusi, publikasi, dan advokasi terhadap otonomi Desa serta mendorong kelahiran UU Desa yang jauh lebih baik, kokoh dan berkelanjutan.
Pada tahun 2005, pemerintah dan DPR mengambil kesepakatan memecah UU No. 32/2004 menjadi tiga UU:
- UU Pemerintahan Daerah,
- UU Pilkada Langsung, dan
- UU Desa.
Keputusan ini semakin menggiatkan gerakan pada pejuang Desa. Pada tahun 2007, pemerintah menyiapkan Naskah Akademik dan RUU Desa. Baru pada bulan Januari 2012 Presiden mengeluarkan Ampres dan menyerahkan RUU Desa kepada DPR, dan kemudian DPR RI membentuk Pansus RUU Desa.
Baik pemerintah maupun DPD dan DPR membangun kesepahaman untuk meninggalkan Desa lama menuju Desa baru. Mereka berkomitmen untuk mengakhiri perdebatan panjang dan sikap politik yang tidak jelas kepada Desa selama ini, sekaligus membangun UU Desa yang lebih baik, kokoh dan berkelanjutan. Setelah menempuh perjalanan panjang selama tujuh tahun (2007-2013), dan pembahasan intensif 2012-2013.
RUU Desa akhirnya disahkan menjadi Undang-undang Desa pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 18 Desember 2013. Mulai dari Presiden, Menteri Dalam Negeri beserta jajarannya, DPR, DPD, para Kepala Desa dan perangkat Desa, hingga para aktivis pejuang Desa menyambut kemenangan besar atas kelahiran UU Desa.
Berbeda dengan kebijakan sebelumnya, UU Desa yang diundangkan menjadi UU No. 6/2014, menegaskan komitmen politik dan konstitusional bahwa negara melindungi dan memberdayakan Desa agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kokoh dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Berbeda dengan kebijakan sebelumnya, UU Desa yang diundangkan menjadi UU No. 6/2014, menegaskan komitmen politik dan konstitusional bahwa negara melindungi dan memberdayakan Desa agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kokoh dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Visi dan komitmen tentang perubahan Desa juga muncul dari pemerintah, setelah melewati deliberasi yang panjang dan membangun kompromi agung dengan DPR.
Pidato Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, dalam Sidang Paripurna berikut ini mencerminkan visi dan komitmen baru pemerintah tentang perubahan Desa :
Rancangan Undang-Undang Desa akan semakin komprehensif dalam mengatur Desa serta diharapkan akan mampu memberikan harapan yang besar bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat dan pemerintahan Desa. Rancangan Undang-Undang tentang Desa yang disahkan, diharapkan dapat menjawab berbagai permasalahan di Desa yang meliputi aspek sosial, budaya, ekonomi, serta memulihkan basis penghidupan masyarakat Desa dan memperkuat Desa sebagai entitas masyarakat yang kuat dan mandiri.
Desa juga diharapkan dapat menjalankan mandat dan penugasan beberapa urusan yang diberikan oleh pemerintah provinsi, dan terutama pemerintah kabupaten/kota yang berada diatasnya, serta menjadi ujung tombak dalam setiap pelaksanan pembangunan dan kemasyarakatan. Sehingga, pengaturan Desa juga dimaksudkan untuk mempersiapkan Desa dalam merespon proses modernisasi, globalisasi dan demoktratisasi yang terus berkembang tanpa kehilangan jati dirinya.
Dengan pengaturan seperti ini, diharapkan Desa akan layak sebagai tempat kehidupan dan penghidupan. Bahkan lebih dari itu, Desa diharapkan akan menjadi fondasi penting bagi kemajuan bangsa dan negara dimasa yang akan datang. Disamping itu, Undang-Undang tentang Desa ini diharapkan mengangkat Desa pada posisi subyek yang terhormat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena akan menentukan format Desa yang tepat sesuai dengan konteks keragaman lokal, serta merupakan instrumen untuk membangun visi menuju kehidupan baru Desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera.
Paradigama Desa Lama dan Desa Baru
Secara garis besar perubahan ditunjukkan dengan pembalikan paradigma dalam memandang Desa, pemerintahan dan pembangunan yang selama ini telah mengakar di Indonesia. Pembalikan itu membuahkan perspektif “Desa Lama” yang berubah menjadi “Desa Baru” sebagaimana tersaji dalam tabel berikut:
Tabel Desa Lama
Vs
Desa Baru
Unsur-Unsur Desa Lama Desa Baru
|
||
Dasar konstitusi
|
UUD 1945 Pasal 18 ayat 7
|
UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2
dan Pasal 18 ayat 7 |
Payung hukum
|
UU No. 32/2004
dan PP No.72/2005
|
UU No. 6/2014
|
Visi-misi
|
Tidak ada
|
Negara melindungi dan
memberdayakan Desa agar
menjadi kuat, maju, mandiri,
dan demokratis
sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat
dalam melaksanakan
pemerintahan dan pembangunan
menuju masyarakat yang adil,
makmur, dan sejahtera
|
Asas utama
|
Desentralisasi-residualitas
|
Rekognisi-subsidiaritas
|
Kedudukan
|
Organisasi pemerintahan yang berada dalam
sistem pemerintahan kabupaten/kota
|
Sebagai pemerintahan masyarakat,
hybrid antara self governing community dan local self government.
|
Delivery
kewenangan dan
program
|
Target: pemerintah menentukan
target-target kuantitatif dalam
membangun
Desa
|
Mandat: negara memberi mandat
kewenangan, prakarsa dan
pembangunan
|
Kewenangan
|
Selain kewenangan asal usul,
menegaskan tentang sebagian urusan kabupaten/kota yang diserahkan kepada
Desa
|
Kewenangan asal-usul (rekognisi)
dan
kewenangan lokal berskala Desa
(subsidiaritas).
|
Politik tempat
|
Lokasi: Desa sebagai lokasi proyek
dari atas
|
Arena: Desa sebagai arena bagi
orang
Desa untuk menyelenggarakan
|
pemerintahan, pembangunan,
pemberdayaan dan
kemasyarakatan
|
||
Posisi dalam
pembangunan
|
Obyek
|
Subyek
|
Model
pembangunan
|
Government driven development
atau community driven development
|
Village driven development Village
driven development, dengan penekanan pada peningkatan
kapasitas, kepemilikan aset ekonomi
dan revitalisasi budaya Desa.
|
Karakter politik
|
Desa parokhial, dan Desa
korporatis
|
Desa Inklusif
|
Demokrasi
|
Demokrasi tidak menjadi asas dan
nilai, melainkan menjadi
instrumen. Membentuk demokrasi elitis dan mobilisasi partisipasi
|
Demokrasi menjadi asas, nilai, sistem
dan tatakelola. Membentuk demokrasi inklusif, deliberatif dan partisipatif
|
Penguatan Desa
1. Desa Maju, Kuat, Mandiri dan Demokratis
Desa harus semakin maju tetapi tidak meninggalkan tradisi, dan tetap merawat tradisi tetapi tidak ketinggalan jaman.
Didalam desa kuat dan desa mandiri terkandung prakarsa lokal, kapasitas, bahkan pada titik tertinggi adalah desa yang berdaulat secara politik.
Konsep desa kuat senantiasa diletakkan dalam satu tarikan nafas dengan daerah kuat dan negara kuat. Negara kuat bukan berarti mempunyai struktur yang besar dan berkuasa secara dominan terhadap semua aspek kehidupan. Otonomi dan kapasitas merupakan tolok ukur negara kuat.
Negara otonom adalah negara yang sanggup mengambil keputusan secara mandiri, sekaligus kebal dari pengaruh berbagai kelompok ekonomi politik maupun kekuatan global. Kapasitas negara terkait dengan kemampuan negara menggunakan alat-alat kekerasan dan sistem pemaksa untuk menciptakan law and order (keamanan, keteraturan, ketertiban, ketentraman, dan sebagainya), mengelola pelayanan publik dan pembangunan untuk fungsi welfare (kesejahteraan), serta
melakukan proteksi terhadap wilayah, tanah
air, manusia, masyarakat maupun sumberdaya alam.
Secara khusus dalam Desa
kuat terdapat dua makna
penting :
Pertama,
Desa memiliki legitimasi
di
mata
masyarakat Desa. Tentu
legitimasi bisa terjadi kalau
Desa
mempunyai kinerja
dan bermanfaat
secara nyata bagi masyarakat,
bukan hanya manfaat secara administratif, tetapi juga manfaat sosial dan ekonomi.
Kedua, Desa
memperoleh pengakuan dan penghormatan (rekognisi) dan kepercayaan dari pihak negara (institusi negara apapun), pemerintah
daerah, perusahaan, dan lembaga-
lembaga
lain.
Jika mereka
meremehkan
Desa, misalnya menganggap
Desa
tidak
mampu atau Desa tidak
siap, maka Desa itu masih lemah. Rekognisi itu tidak hanya di
atas kertas sebagaimana pesan UU Desa, tetapi juga diikuti dengan sikap
dan tindakan konkret yang
tidak
meremehkan
tetapi memercayai.
Rekognisi dan subsidiaritas merupakan solusi terbaik untuk menata ulang hubungan Desa
dengan negara, maka demokrasi
merupakan solusi terbaik untuk
menata ulang hubungan antara
Desa dengan warga
atau antara
pemimpin Desa
dengan warga masyarakat. Rekognisi dan subsidiaritas, seperti halnya desentralisasi, hendak membawa negara, arena dan sumberdaya lebih dekat kepada Desa; sementara demokrasi hendak mendekatkan akses rakyat Desa pada negara, arena dan sumberdaya.
Tanpa demokrasi,
rekognisi-subsidiaritas dan kemandirian Desa hanya
akan
memindahkan korupsi, sentralisme dan elitisme ke Desa. Sebaliknya, demokrasi tanpa rekognisi-subsidiritas hanya akan membuat jarak yang jauh antara rakyat dengan arena,
sumberdaya dan negara.
2. Desa sebagai suatu Kesatuan Pemerintahan dan Masyarakat
Desa sebagai
sebuah kesatuan organik, Desa memiliki masyarakat,
masyarakat
memiliki Desa. Desa memiliki masyarakat berarti Desa ditopang oleh institusi lokal atau modal
sosial. Dalam UU Desa hal ini tercermin pada asas kekeluargaan,
kebersamaan dan kegotongroyongan.
Sementara masyarakat
memiliki Desa
bisa disebut juga sebagai tradisi berdesa, atau masyarakat menggunakan Desa sebagai basis dan arena bermasyarakat, bernegara,
berpolitik atau berpemerintahan oleh
masyarakat.
Desa
sebagai
basis sosial merupakan tempat menyemai dan
merawat
modal
sosial (kohesi sosial, jembatan sosial, solidaritas sosial
dan jaringan sosial) sehingga Desa mampu
bertenaga secara sosial.
Sebagai basis politik, Desa menyediakan arena kontestasi politik bagi kepemimpinan lokal,
sekaligus arena representasi dan partisipasi warga
dalam pemerintahan dan
pembangunan Desa. Dengan
kalimat lain, Desa menjadi arena bagi demokratisasi lokal yang paling kecil dan paling dekat dengan warga.
Sebagai
basis pemerintahan, Desa memiliki organisasi dan tatapemerintahan
yang
mengelola kebijakan, perencanaan,
keuangan dan layanan dasar yang bermanfaat untuk warga.
Sebagai basis ekonomi, Desa sebenarnya mempunyai aset-aset ekonomi
(hutan, kebun, sawah, tambang,
sungai, pasar, lumbung,
perikanan darat, kerajinan,
wisata, dan sebagainya), yang bermanfaat untuk sumber-sumber penghidupan bagi
warga. Sudah banyak contoh yang memberi bukti-bukti tentang identitas ekonomi yang memberikan penghidupan bagi warga: Desa cengkeh,
Desa kopi, Desa vanili,
Desa
keramik, Desa genting, Desa wisata, Desa ikan, Desa kakao, Desa madu, Desa garam,
dan lain-lain.
Hakekat Desa sebagai basis kehidupan dan penghidupan itu ditemukan dalam
lintasan sejarah. Banyak
cerita yang memberikan bukti bahwa Desa bermakna dan
bermanfaat bagi warga. Banyak peran dan manfaat Desa bagi masyarakat di masa lalu, seperti menjaga keamanan Desa, mengelola persawahan dan irigasi,
penyelesaian
sengketa, pendirian sekolah-sekolah rakyat dan
sekolah dasar, dan masih banyak lagi.
Dalam hal hukum dan keadilan,
studi Bank Dunia menunjukkan
bahwa
masyarakat lebih banyak memilih kepala Desa (42 persen) dan tokoh masyarakat (35 persen) ketimbang pengadilan (4 persen) dalam menyelesaikan masalahnya (Bank Dunia, Justice for Poor, 2007).
Pengalaman
ini yang menjadi salah satu ilham bagi Suhardi Suryadi
dan Widodo Dwi Saputro (2007) menggagas dan mempromosikan balai mediasi Desa, sebagai salah satu alternatif yang paling layak untuk melibatkan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Gagasan tentang community justice sytem
berbasis Desa ini memang berasalan karena
sejarah telah membuktikan
bahwa Desa/masyarakat adat memiliki akar sosial-budaya yang secara adil menyelesaikan
sengketa secara lokal.
3. Desa
Sebagai Masyarakat Berpemerintahan
Kedudukan (posisi) Desa dalam bangunan besar tatanegara Indonesia, sekaligus relasi
antara negara, Desa dan warga merupakan jantung persoalan
UU Desa.
Rekognisi bukan saja mengakui dan menghormati terhadap
keragaman Desa, kedudukan, kewenangan
dan hak asal-usul maupun susunan pemerintahan, namun UU Desa juga melakukan redistribusi
ekonomi dalam bentuk alokasi
dana dari APBN maupun APBD. Di satu sisi rekognisi dimaksudkan untuk mengakui dan menghormati identitas, adat-istiadat,
serta
pranata dan kearifan lokal sebagai
bentuk tindakan
untuk
keadilan kultural. Di sisi lain redistribusi uang negara kepada Desa merupakan resolusi
untuk menjawab ketidakailan sosial-ekonomi
karena intervensi, eksploitasi dan marginalisasi yang dilakukan oleh negara. Bahkan UU
Desa
juga melakukan proteksi terhadap Desa, bukan hanya proteksi kultural, tetapi juga proteksi Desa dari imposisi
dan mutilasi yang dilakukan oleh
supradesa, politisi dan
investor.
Asas residualitas yang mengikuti asas desentralisasi menegaskan
bahwa seluruh kewenangan dibagi habis
antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan
terakhir di tangan pemerintah kabupaten/kota. Dengan asas desentralisasi dan
residualitas itu, Desa ditempatkan dalam sistem
pemerintahan kabupaten/kota, yang menerima pelimpahan
sebagian (sisa-sisa) kewenangan dari bupati/walikota.
Prinsip subsidiaritas menegaskan bahwa dalam semua bentuk
koeksistensi manusia, tidak ada organisasi
yang harus melakukan dominasi dan menggantikan organisasi yang kecil dan lemah dalam menjalankan fungsinya.
Sebaliknya, tanggungjawab moral lembaga sosial yang lebih kuat dan lebih besar adalah
memberikan bantuan kepada organisasi
yang
lebih kecil dalam pemenuhan aspirasi secara mandiri yang ditentukan pada level yang lebih kecil-bawah, ketimbang dipaksa dari atas (Alessandro Colombo,2012; Soetoro Eko ).
Dengan
kalimat lain, subsidiarity secara prinsipil
menegaskan tentang
alokasi atau penggunaan kewenangan dalam
tatanan politik, yang notabene tidak mengenal
kedaulatan tunggal di tangan
pemerintah sentral. Subsidiaritas terjadi dalam konteks transformasi institusi, sering
sebagai bagian dari tawar-menawar
(bargaining) antara komunitas/otoritas yang berdaulat (mandiri) dengan otoritas
lebih tinggi pusat.
Sotoro Eko (2015) memberikan tiga makna subsidiaritas :
Pertama, urusan lokal
atau kepentingan masyarakat setempat yang berskala lokal lebih baik ditangani oleh organisasi lokal, dalam hal
ini Desa, yang paling dekat dengan masyarakat.
Dengan
kalimat lain, subsidiaritas
adalah lokalisasi penggunaan kewenangan dan pengambilan keputusan tentang kepentingan masyarakat
setempat kepada Desa.
Kedua, negara bukan
menyerahkan
kewenangan seperti asas desentralisasi, melainkan menetapkan kewenangan lokal berskala Desa menjadi kewenangan Desa melalui undang-undang. Dalam penjelasan UU No. 6/2014 subsidiaritas mengandung makna penetapan kewenangan lokal berskala Desa menjadi kewenangan Desa.
Penetapan itu berbeda
dengan penyerahan, pelimpahan atau pembagian yang lazim
dikenal dalam asas
desentralisasi maupun
dekonsentrasi.
Sepadan
dengan asas rekognisi yang menghormati
dan mengakui kewenangan asal-usul Desa, penetapan ala subsidiaritas berarti UU secara langsung menetapkan sekaligus memberi batas-
batas yang jelas tentang
kewenangan Desa tanpa melalui mekanisme penyerahan dari
kabupaten/kota.
Ketiga, pemerintah melakukan dukungan dan fasilitasi
terhadap Desa. Pemerintah mendorong, memberikan kepercayaan dan mendukung prakarsa dan
tindakan Desa dalam mengatur dan
mengurus kepentingan
masyarakat setempat. Tindakan ini sejalan dengan salah satu tujuan penting UU No. 6/2014, yakni
memperkuat Desa sebagai subyek pembangunan,
yang mampu dan mandiri
mengembangkan prakarsa
dan aset Desa untuk kesejahteraan
bersama.
4. Kedaulatan, Kewenangan dan Prakarsa Lokal
Desa, sebagai kesatuan masyarakat hukum atau badan
hukum publik juga memiliki kewenangan meskipun tidak seluas kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah.
Kewenangan
Desa adalah
hak Desa untuk mengatur, mengurus dan bertanggung jawab atas
urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat. Mengatur
dan mengurus mempunyai beberapa makna:
(1) Mengeluarkan dan menjalankan aturan main (peraturan),
tentang apa yang boleh
dan tidak
boleh dilakukan, sehingga mengikat kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Misalnya Desa menetapkan besaran jasa pelayanan air minum yang dikelola BUM Desa
Air
Bersih; atau
Desa
menetapkan larangan truck besar
masuk ke jalan kampung.
(2) Bertanggungjawab merencanakan, menganggarkan dan
menjalankan kegiatan
pembangunan atau pelayanan,
serta menyelesaikan
masalah yang muncul.
(3) Memutuskan dan
menjalankan
alokasi sumberdaya (baik dana, peralatan
maupun personil) dalam kegiatan pembangunan atau
pelayanan, termasuk membagi
sumberdaya kepada penerima manfaat.
Sebagai contoh, Desa
memutuskan
alokasi dana sekian rupiah dan menetapkan personil pengelola Posyandu. Contoh lain: Desa memberikan beasiswa sekolah
bagi anak-anak Desa yang pintar
(berprestasi) tetapi tidak mampu
(miskin).
(4) Mengurus berarti menjalankan, melaksanakan, maupun merawat public goods
yang
telah diatur tersebut.
Implementasi pembangunan maupun pelayanan
publik merupakan bentuk konkret mengurus.
Urusan pemerintahan
pada dasarnya mencakup tiga fungsi
yang
dijalankan oleh pemerintah, yaitu: pengaturan
(public regulation), pelayanan publik (public goods) dan pemberdayaan masyarakat
(empowerment). Pengaturan
merupakan kegiatan
mengatur (membuat peraturan tentang perintah yang harus dijalankan dan larangan yang harus dihindari) tentang pemanfaatan barang-barang publik seperti pendidikan, kesehatan, jalan, laut, sungai, hutan, kebun, air, udara, uang dan lain-lain. Sedangkan pemberdayaan adalah fungsi pemerintah memperkuat
kemampuan masyarakat dalam mengakses atau memanfaat-
kan barang-barang
publik
tersebut
serta mengembangkan potensi dan
aset
yang
dimiliki masyarakat.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan
di Indonesia, apa yang disebut
urusan pemerintahan tersebut sudah diatur dan diurus oleh pemerintah, bahkan sudah
dibagi habis kepada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai
dengan UU No. 22/2014 dan undang-undang sektoral
lainnya. Apa
yang
disebut kepentingan masyarakat setempat sebenarnya juga tercakup sebagai urusan
pemerintahan.
Urusan
pemerintahan
berkaitan dengan pelayanan publik kepada warga yang sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Sementara
kepentingan masyarakat setempat adalah kebutuhan
bersama masyarakat yang terkait dengan penghidupan dan kehidupan sehari-hari masyarakat, muncul dari prakarsa masyarakat, berskala
dan bersifat lokal (setempat),
dan terkadang belum
tercakup dalam
peraturan dan kebijakan pemerintah.
(1) Baik
kewenangan asal usul maupun kewenangan lokal bukanlah kewenangan yang diserahkan oleh
pemerintah, bukan juga
merupakan sisa (residu) yang dilimpahkan oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana pernah diatur dalam UU No.
32/2004 dan
PP
No. 72/2005. Sesuai dengan asas
rekognisi dan subsidiaritas, kedua jenis kewenangan itu diakui
dan ditetapkan langsung oleh undang-undang
dan dijabarkan oleh
peraturan
pemerintah.
(2) Sebagai konsekuensi Desa
sebagai masyarakat yang
berpemerintahan (self
governing community), kewenangan Desa yang berbentuk mengatur hanya
terbatas pada pengaturan kepentingan lokal dan masyarakat setempat dalam
batas-batas wilayah administrasi
Desa. Mengatur
dalam hal ini bukan dalam
bentuk mengeluarkan izin
baik kepada warga maupun kepada pihak luar seperti
investor, melainkan dalam bentuk keputusan alokatif kepada masyarakat,
seperti alokasi anggaran dalam
APB Desa, alokasi air kepada warga, dan lain-lain.
Desa tidak bisa memberikan izin mendirikan bangunan, izin pertambangan, izin
eksploitasi air untuk kepentingan bisnis dan
sebagainya.
(3) Kewenangan Desa lebih banyak mengurus, terutama yang berorientasi kepada pelayanan warga dan pemberdayaan masyarakat. Sebagai contoh Desa melayani
dan juga membiayai
kegiatan kelompok tani, melatih kader perempuan, membiayai
Posyandu, mengembangkan hutan rakyat bersama masyarakat, membikin bagan
ikan untuk kepentingan nelayan, dan sebagainya.
(4) Selain mengatur dan mengurus, Desa dapat mengakses urusan pemerintahan
yang
menjadi kewenangan kabupaten/kota
untuk dimanfaatkan memenuhi
kepentingan masyarakat. Selain contoh
di
atas tentang beberapa Desa menangkap air sungai Desa dapat mengakses dan memanfaatkan lahan negara
berskala kecil (yang
tidak termanfaatkan atau tidak bertuan) untuk memenuhi kepentingan masyarakat setempat. Lahan sisa proyek pembangunan, tanggul dan bantaran sungai, maupun
tepian
jalan
kabupaten/kota merupakan contoh
konkret. Desa dapat
memanfaatkan dan menanam
pohon
di atas lahan itu
dengan cara mengusulkan dan memperoleh
izin dari bupati/walikota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar